dakwatuna.com - Ketika seseorang ditanya “Apa
hobimu?” jawaban mereka akan bermacam-macam. Ada yang menjawab: “Hobi
saya berenang, memancing, piknik/jalan-jalan dan lain-lain. Setiap orang
memilih hobinya masing-masing, tak jarang hobi yang satu berbeda dengan
yang lain. Termasuk kita juga mungkin pernah menemukan ada sebagian
orang yang mempunyai hobi membaca.
Hal inilah yang membuat kami heran. Terheran bukan karena alangkah
baiknya hobi itu, atau langka sekali orang yang mempunyai hobi seperti
itu. Tapi apakah membaca menjadi sebuah hobi. Penulis tertarik dengan
ulasan yang diberikan oleh DR. Rajib Al-Sirjany dalam bukunya Al Qira’ah manhajul hayah.
Di sana beliau mengungkapkan dapatkah sebuah kegiatan membaca menjadi
sebuah hobi. Dengan argumennya yang ringkas ia menjelaskan esensi
membaca serta mengupas urgensi membaca dalam Islam dengan menyelipkan
sedikit keadaan umat Islam belakangan ini.
Ketika seseorang berkata bahwa hobi saya adalah membaca, bukankah
membaca sebuah kebutuhan hidup dan tidak hanya menjadi sebuah hobi.
Bisakah seseorang mengatakan bahwa hobinya adalah minum air, contohnya.
Bukankah setiap orang juga meminum air. Maka hal ini tidak dapat menjadi
sebuah hobi, karena itu merupakan sebuah keniscayaan bukan sebuah hobi.
Sama halnya juga ketika seseorang mengatakan: “Hobi saya adalah makan!”
Kenapa demikian? Karena makan adalah suatu keniscayaan bukan sebuah
hobi, maka setiap orang yang merasa lapar pasti akan makan, mungkin yang
berbeda hanyalah macam makanannya, itu wajar-wajar saja. Tetapi ketika
engkau dilarang untuk makan, tidur, dan bernafas maka ini dapat
menyebabkan kematian, karena semua ini adalah kebutuhan hidup setiap
orang. Dan menurut hemat kami, setiap orang haruslah membaca, bukan
hanya membaca satu dua buku, sehari sebulan atau setahun saja, tapi
membaca haruslah menjadi sebuah “metode hidup” .Janganlah hari-harimu
berlalu begitu saja tanpa membaca, yang dimaksud membaca di sini bukan
sekedar membaca tetapi membaca sesuatu yang menghasilkan manfaat, bacaan
yang membangun bukan menjatuhkan, membawa perubahan bukan
menghancurkan. Oleh karena itu membaca bukanlah sebuah hobi.
Sungguh tidak pantas lagi ketika kita mendengar seseorang berkata:
“Saya tidak senang membaca, tidak biasa, atau cepat bosan membaca”.
Karena hal ini sama seperti seorang berkata: “Saya bosan makan, maka
saya tidak akan makan”. Ketika kita perhatikan sejarah Nabi, kita akan
menemukan perhatian yang sangat besar terhadap kegiatan membaca. Maka
tidaklah heran ketika membaca tidak hanya menjadi hobi tapi sudah
menjadi sebuah metode hidup.
Sebagai contoh, Rasulullah SAW meminta pada tahanan musyrik yang
ingin menebus dirinya untuk mengajarkan baca dan tulis kepada sepuluh
orang Mukmin. Hal ini merupakan suatu yang aneh bukan. Karena kalau kita
perhatikan keadaan umat Islam pasca perang Badr lebih membutuhkan
harta, atau merawat para tahanan agar dapat memberikan tekanan pada kaum
musyrikin atau mungkin dapat ditukar dengan tahanan umat Islam yang ada
pada mereka. Tapi Rasul berfikir sesuatu yang lebih penting dari itu,
yaitu bagaimana cara mengajarkan umat Islam agar dapat membaca. Apalagi
waktu itu buta huruf masih meraja lela. Bukankah kebangkitan, kemajuan
dan perkembangan suatu kaum tergantung pada kadar perhatian mereka
terhadap baca tulis dan belajarnya kaum tersebut. Karena itu membaca
sebuah kebutuhan yang sangat urgent.
Mari kita perhatikan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah SAW
melalui Malaikat Jibril as Kalimat “Iqra”, bukankah ini mengundang
sebuah perhatian tersendiri. Sebenarnya bisa saja wahyu itu dimulai
dengan kata-kata lain, akan tetapi mengapa Al Quran yang diturunkan
selama 23 tahun memulai dengan kata ini (Iqra’)? Lalu mengapa kata ini
ditujukan pada Nabi bukankah beliau adalah seorang Ummi (tak
dapat membaca dan menulis), padahal di sisi lain Beliau memiliki
beribu-ribu keutamaan mulia dan perangai terpuji, dimana Al Quran bisa
saja memulai dengan kelebihan dan keutamaan itu. Tetapi mengapa wahyu
pertama malah memulai titahnya kepada kanjeng Rasul dengan perintah yang
jelas, langsung, dan tercakup dalam sebuah kata yang mengandung sebuah
metode hidup, membaca.
Keadaan Rasul yang tak tahu bagaimana cara dan apa yang dibaca ketika itu dengan jelas terlihat dari jawaban Beliau: “Ma ana bi qori‘
(Saya tak dapat membaca)”. Bukankah kalimat ini sudah cukup menjadi
alasan agar Jibril memilih topik lain, atau menjelaskan maksud yang ia
(Jibril) inginkan. Tapi Jibril malah mendekap Nabi dengan sangat keras
kemudian ia memerintahkannya dengan perintah yang sama, Iqra‘.
Nabi sendiri tidak tahu apa yang ia inginkan, bahkan ia tak tahu
siapa orang yang ada di hadapannya itu dan bagaimana ia bisa datang ke
tempat itu. Kejadian ini pun berulang–ulang sampai tiga kali dan
akhirnya Jibril melepaskannya seraya membacakan kelima ayat pertama
surat Al-’Alaq. Semua kejadian ini sebelum Jibril menyatakan bahwa ia
adalah Malaikat utusan Allah, Ia adalah Rasulullah, wahyu itu adalah Al
Qur’an, dan agama baru ini adalah Islam. Sebelum adanya semua pernyataan
ini ia menyuruh Nabi sebuah perintah yaitu membaca.
Tidakkah cukup hal itu menjadi sebuah bukti kepada Umat Islam akan pentingnya membaca!
Apakah masuk akal jika sebuah awal kata yang diturunkan dalam Al
Qur’an merupakan sebuah hobi, yang disenangi sebagian orang dan dijauhi
bahkan dibosani sebagian lainnya!
Al Quran terdiri lebih dari 1770 kata, tapi kata iqra (membaca)
adalah kata pertama yang diturunkan dalam Al Quran. Ia juga mengandung
ribuan kata perintah seperti Shalat (wa aqimus shalah), zakat (wa atuz
zakah), jihad dan lain-lain, tapi kata perintah pertama adalah membaca
(iqra). Bahkan tidak hanya berhenti di sini, kelima ayat pertama yang
diturunkan seluruhnya juga berbicara tentang topik membaca. Kata iqra‘ juga disebut berulang-ulang sebanyak dua kali.
Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengapa kita harus membaca? apakah ia merupakan sebuah perantara atau tujuan?
Membaca adalah sebuah perantara, kita membaca untuk belajar. Hal ini
telah Allah jelaskan pada kelima ayat surat Al-Alaq tadi, “Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Peran
membaca sebagai perantara untuk mencapai sebuah pengetahuan semakin
terasa penting terlihat dari ayat di atas. Walau kita tahu bahwa
pengetahuan adalah tujuan membaca tetapi Allah tidak memulai Al Quran
dengan kata ta’allam (belajarlah) bahkan Ia malah memulai dengan kata iqra‘ (bacalah).
Memang banyak sarana untuk belajar seperti mendengar, melihat,
mencari pengalaman, dan bereksperimen. Tapi sarana terbesar untuk
belajar adalah membaca. Seakan-akan Allah mengajarkan kita bahwa
sekalipun terdapat begitu banyak sarana belajar tapi kita tetap harus
membaca. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membaca
bukanlah sekedar hobi tapi ia merupakan sebuah metode hidup. Menengok
sejenak keadaan umat Islam sekarang ini, kita temukan buta huruf masih
merajalela. Sebuah keterpurukan pada umat Al Quran. Umat yang kata
pertama dalam pegangan hidupnya adalah membaca. Sungguh amat berbanding
terbalik dengan konsep yang diajarkan Islam.
Persentase buta huruf secara kesuluruhan (sama sekali tidak bisa baca
atau menulis) pada bangsa Islam mencapai 37 %. Tapi dengan keadaan buta
huruf yang sudah sangat kritis ini dunia Islam hanya menganggarkan
kurang dari 4% dari income total mereka. Hal ini menunjukkan
bahwa masalah ini tidaklah dianggap sebagai sebuah persoalan penting
bagi mereka. Dan ini adalah sebuah problem besar yang membutuhkan
perhatian lebih. Angka 37% itu hanya buta huruf yang terlihat jelas,
belum terhitung buta huruf lainnya yang secara tidak langsung sudah
tersebar pada Umat ini. Ternyata tingkatan “buta huruf” juga terdapat
pada orang-orang yang dapat membaca dan menulis dengan baik, bahkan
mereka pun telah menamatkan jenjang Perguruan Tinggi. Contohnya tak
sedikit orang yang telah lama bergelut dalam baca dan tulis, tapi
anehnya kadang mereka tidak tahu banyak hal yang sangat penting yang
terjadi di dunia ini. Bukankah ini merupakan kebutaan dalam umat kita!
Ada juga orang yang masih awam terhadap agama. Bahkan mungkin kita
pernah temui seorang Profesor di sebuah Universitas, seorang dokter
spesialis, atau pengacara ulung yang tidak tahu hal-hal sepele dalam
agama mereka. Atau mungkin masih ada orang yang belum tahu tentang
hal-hal dasar dalam undang-undang dan aturan-aturan hidup mereka.
Kunci tegak dan berdirinya suatu Umat adalah kata “iqra“.
Tidak mungkin sebuah umat dapat tegak berdiri tanpa membaca. Oleh karena
itu salah seorang “dedengkot” Yahudi pernah berkata: “Kami tak pernah
takut dengan bangsa Arab (Islam), karena mereka adalah bangsa yang tak
dapat membaca”. Benarlah apa yang dikatakan Yahudi itu walau sebenarnya
mereka adalah pembual ulung. Karena Umat yang tidak dapat membaca adalah
umat yang tidak memiliki wibawa dan tak perlu disegani.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menggugah dan membawa pencerahan bagi
penulis khususnya serta para muslimin umumnya untuk dapat
mengaplikasikan titah awal yang diperintahkan pada Umat ini, membaca.
Amin. Wallahu wa Rosuluhu ‘Alam.
No comments:
Post a Comment