dikutip dari http://www.hasanalbanna.com
Agama Islam telah menetapkan bahwa
manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dibekali
berbagai kekuatan, bakat dan potensi. Potensi-potensi ini dapat
diarahkan dan dipergunakan untuk kebaikan, sebagaimana ia juga dapat
diarahkan dan dipergunakan untuk keburukan. Potensi ini untuk berupa
kebaikan semata dan bukan pula berupa keburukan semata. Meskipun
keinginan terhadap kebaikan pada sebagian orang terkadang lebih kuat,
sebagaimana keinginan terhadap keburukan pada sebagian manusia yang lain
juga terkadang lebih kuat. Antara keduanya terdapat perbedaan yang
hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Di dalam hadits yang shahih
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Setiap anak di lahirkan di atas fitrah (asal kejadian yang masih bersih, dapat menerima baik dan buruk).” (Thabarani)
Di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Manusia itu bagaikan tambang,
seperti tambang emas dan perak. Yang terbaik di antara mereka di masa
jahiliyah adalah yang terbaik di antara mereka di masa Islam apabila
mereka memahami ajaran agama.” (Bukhari)
Keterangan di atas diperkuat oleh firman Allah Ta’ala:
“Demi jiwa dan penyempurnaannya
(ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya.” (QS 91:7-8)
Yakni Allah menciptakan jiwa dalam
keadaan di sempurnakan dan seimbang, dapat menerima ketakwaan dan
kefasikan, dan siap menerima pengaruh baik dan buruk.
Allah membekali manusia dalam hidupnya
ini dengan pikiran yang dapat dipergunakan untuk membedakan antara yang
hak dan yang batil dalam masalah aqidah, dan membedakan antara yang baik
dan yang buruk dalam masalah perbuatan dan dapat membedakan antara
benar dan dusta dalam hal ucapan.
Allah memberikan kepada manusia
kemampuan (qudrah) yang dapat dipergunakan untuk menegakkan yang hak dan
menghancurkan yang batil. Dapat dipergunakan untuk mengerjakan kebaikan
dan meninggalkan keburukan, dan untuk mengucapkan kebenaran dan
menjauhi kebohongan.
Allah juga telah menggariskan bagi
manusia jalan kebenaran, kebaikan dan kejujuran melalui kitab-kitab yang
diturunkanNya dan melalui kitab-kitab yang diturunkanNya dan melalui
rasul-rasul yang diutusNya. Selama akal pikran manusia yang dpat
membedakan hal-hal tersebut masih ada, kemampuan untuk berbuat masih
baik, dan manhaj (jalan) yang digariskan Allah masih jelas, maka berarti
manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan untuk
memilih perbuatan.
Manusia harus mengarahkan
kekuatan-kekuatan yang dimilikinya guna memilih untuk dirinya sendiri,
apakah kebenaran ataukah kebatilan, kebaikan ataukah keburukan,
kejujuran ataukah kedustaan yang dipilihnya.
Di dalam al-Qur’an yang mulia Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS 76:3)
Yakni Kami telah menunjukinya kepada
jalan kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan keburukan, kejujuran dan
kedustaan. Di antara manusia ada yang menempuh jalan yang lurus,
sehingga ia menjadi orang yang bersyukur. Dan ada pula yang menempuh
jalan yang bengkok, sehingga ia menjadi orang kafir.
Mengenai pengertian ini Allah juga berfirman:
“Dan Kami telah menunjukinya dua jalan.”
Setiap manusia bertanggungjawab untuk
membersihkan dirinya dan memperbaikinya hingga ia dapat mencapai
kesempurnaannya yang telah ditentukan baginya. Sebab memperbaiki,
membersihkan dan mengingatkannya dengan ilmu yang bermanfaat serta
dengan amal shaleh itulah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
keberuntungan dan dan kebahagiaan dengan mendapatkan ridha Allah dan
dapat menyaksikan keagungan dan keindahanNya. Jika mengabaikan hal di
atas, itulah jalan menuju kegagalan dan kerugiannya.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori
jiwa itu.” (QS 91:9-10)
Allah juga berfirman:
“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS 75:14-15)
Allah berfirman lagi:
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS 74:38)
“Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS 52:21)
Ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan kebebasan manusia sangat banyak sekali. Di antaranya adalah firman Allah:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal
shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat
jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah
Tuhanmu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS 41:46)
Di dalam ayat ini Allah menyandarkan
amal yang baik maupun amal yang buruk kepada manusia. Andaikata manusia
tidak bebas beramal niscaya amal perbuatan tidak disandarkan kepadanya.
Di tempat yang lain dalam al-Qur’an yang mulia Allah berfirman:
“Dan apa saja musibah yang menimpa
kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS 42:30)
Yakni sesungguhnya bencana-bencana yang
menimpa manusia itu hanyalah merupakan salah satu dari dampak amal
perbuatannya dan hasil dari usaha dan tindakannya sendiri.
Al-Qur’an benar-benar berbicara tentang
berbagai kerusakan dahn kejahatan yang mengelilingi manusia, lalu
al-Qur’an menjelaskan bahwa itu semua bukanlah dari perbuatan Allah
melainkan dari amal perbuatan manusia semata.
Seperti firman Allah:
“Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke
jalan yang benar).” (QS 30:41)
Apa yang ditetapkan oleh Al-Qur’an
inilah yang dirasakan oleh manusia dari dirinya. Ia merasakan bahwa ia
mengerjakan amal-amalnya yang bisa diusahakan dengan kehendak dan
ikhtiar semata. Jadi dialah yang melakukan amal-amal yang
dikehendakinya, dan dia meninggalkan apa yang dikehendakinya pula.
Apabila manusia mengerjakan sesuatu yang
bermanfaat maka ia berhak menerim pujian, dan apabila mengerjakan
sesuatu yang berbahaya maka ia berhak dicela. Andaikata ia tidak bebas
memilih untuk berbuat tentulah pujian tidak diarahkan kepadanya karena
mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan cercaan tidak diarahkan
kepadanya karena mengerjakan sesuatu yang membahayakan.
Bahkan, anadaikata manusia tidak bebas
memilih perbuatan yang dilakukannya tentulah tidak ada lagi perbedaan
antara orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat buruk, sebab
masing-masing dari baik dan buruk dipaksakan kepadanya untuk dikerjakan,
tidak timbul dari kehendak dan kemauannya sendiri.
Di samping itu amar bil ma’ruf dan nahi
‘anil munkar tidak diperlukan lagi karena tidak ada manfaatnya, sebab
manusia dirampas keinginan dan kehendaknya. Dan sudah barang tentu tidak
ada artinya Allah membebani hamba-hambaNya sebab membebani mereka
dengan merampas kebebasannya untuk memilih yang hendak dikerjakan adalah
merupakan puncak kazhaliman yang tidak layak bagi Allah. Dia Maha Suci
dari perbuatan aniaya, dan persoalannya akan menjadi seperti yang
dikatakan penyair:
“Ia melemparnya ke dalam lautan dalam
keadaan tangan dan kaki terikat erat lalu ia berkata kepadanya: Awas!
Awas! Jangan sampai Anda basah kuyup oleh air laut.”
Bahkan andaikata manusia hanya
dijalankan niscaya sia-sialah manfaat undang0-undang, dan balasan pahala
maupun siksa tidak dapat dibenarkan.
Kaum musyrikin ingin berhujjah dengan
kehendak Allah atas perbuatan mereka menyekutukan Allah, dengan
mengatakan bahwa andaikata Allah tidak menghendaki demikian tentulah
mereka tidak menjadi orang-orang musyrik. Maka Allah menolak hujjah
mereka ini dengan firmanNya:
“Orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan akan mengatakan: Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan
bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak (pula) kami
mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang yang
sebelum mereka mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan
Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai pengetahuan sehingga kamu dapat
mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan
belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” Katakanlah: “Allah
mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti
Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (QS 6:148-149)
Ayat Al-Qur’an ini menolak hujjah kaum
musyrikin dari dua sisi yaitu: pertama bahwasanya Allah telah menimpakan
siksaNya terhadap orang-orang kafir terdahulu dan telah menurunkan
hukumanNya kepada mereka. Maka andaikata mereka tidak mempunyai
kebebasan dalam memilih perbuatan yang dikerjakan berupa berbagai
pelanggaran dan dosa-dosa, kekufuran dan kemusyrikan, niscaya Allah
tidak akan menyiksa mereka sebab Allah Maha Adil, tidak berbuat zhalim
sekecil apa pun.
Kedua, mereka beranggapan demikian
karena kebodohan mereka terhadap Allah, dan kebodohan mereka tentang
agama Allah. Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang dapat dijadikan
sandaran dan pegangan, dan tidak mempunyai ilmu yang dijadikan rujukan.
Kekafiran mereka hanyalah karena penyelewengan dan penyimpangan dari
agama Allah dan pengingkaran terhadap kebenaran yang diturunkan Allah
melalui lisan para rasulNya.
Apabila Allah telah benar-benar menyiksa
umat-umat terdahulu karena kekafirannya, dan apabila kaum musyrikin
tidak mempunyai hujjah yang dapat mereka pergunakan sebagai alasan, maka
nyatalah bahwa anggapan kaum musyrikin tersebut adalah persangkaan
belaka yang tidak dapat dijadikan dasar suatu alasan dan tidak dapat
dijadikan dalil.
Dengan demikian tegaklah hujjah Allah
yang kuat mengalahkan hujjah mereka. Andaikata Allah menghendaki,
tentulah Allah akan memaksa mereka mengikuti petunjuk (kebenaran).dan
jika ini benar-benar terjadi maka pada saat itu mereka sekali-sekali
tidak termasuk manusia, sebab manusia diciptakanAllah mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan untuk menentukan pilihannya (karena telah
dibekali akal dan hati).
No comments:
Post a Comment